JIKA IMAM QUNUT SUBUH APAKAH MAKMUM HARUS IKUT QUNUT? KAPANKAH MAKMUM HARUS SESUAI IMAM DAN KAPANKAH BOLEH BERBEDA?

Pertanyaan : Assalamu'alaikum ustadz...barokallahu fiik, ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, terutama terkait kondisi mengikuti imam dalam sholat.

1. Bagaimana bila kita tahu dari kebiasaannya selama ini imam duduk tawarruk, apakah kita juga duduk tawarruk tatkala raka'at terakhir sholat subuh?

2. juga, bagaimana bila kita tidak tahu kebiasaan duduk imam (misalnya karena kita ada di masjid lain)?

3. bila kita ada di shaf pertama dan ada persis di sekitar belakang imam, apakah boleh kita melihat sejenak ke arah imam untuk melihat bagaimana ia duduk? atau, sebaliknya, bagaimana kalau kita ada di shaf kedua, ketiga, dst. tapi benar-2 tdk tahu kebiasaan duduk imam?
jazakallahu khoir ustadz... wassalamu'alaikum

Jawab :

Pertanyaan seperti ini sama dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

- Apakah jika imam menggerak-gerakan jarinya tatkala tasyahhud maka makmum juga harus ikut menggerak-gerakan jarinya, padahal sang makmum tidak meyakini akan sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud? Dan jika sebaliknya?

- Apakah jika imam mengangkat kedua tangan tatkala hendak sujud maka makmum juga harus mengangkat kedua tangannya (padahal sang makmum tidak meyakini disunnahkannya hal tersebut)? Dan jika sebaliknya?

- Apakah jika imam hendak sujud dengan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya apakah makmum juga harus demikian?, sementara makmum meyakini didahulukannya kedua tangan sebelum kedua lutut?, dan jika sebaliknya?

- Apakah jika imam melakukan duduk istirahat -tatkala hendak berdiri ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat- maka makmum juga harus duduk istirahat (padahal sang makmum tidak meyakini adanya duduk istirahat)?, dan jika sebaliknya?

- Apakah jika imam qunut subuh maka sang makmum juga harus qunut subuh? (padahal sang makmum meyakini tidak disyari'atkannya qunut subuh)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus paham apa saja perkara-perkara yang sang makmum harus mengikuti imam dan tidak boleh menyelisihinya?

Para pembaca yang budiman, nash yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah sabda Nabi

إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

"Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku' maka ruku'lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata "Sami'allahu liman hamidahu" ucapkanlah "Robbanaa wa lakalhamdu". Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk" (HR Al-Bukhari no 657)


Rasulullah juga bersabda:

إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا ...

"Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia ruku' maka ruku'lah kalian…" (HR Al-Bukhari no 689)


Ibnu Hajar berkata, "Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam" (Fathul Baari 2/178)

Berkata An-Nawawi : "Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku', sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku' setelah imam mulai ruku' dan sebelum imam berdiri dari ruku'. Jika ia menyertai imam (dalam ruku'-pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal. Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk memisahkan diri dari jama'ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini..." (Al-Minhaaj 4/131)

An-Nawawi juga berkata, "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi'i dan sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.

Malik dan Abu Hanifah radhiallahu 'anhumaa dan para ulama yang lain berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu 'anhu- dan para ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kdua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu'adz tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu'adz dan wajib di sisi kaumnya.

Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi'i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah ruku', takbir, bangkit dari ruku' dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)


Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku' juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.

Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam berupa mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.

Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh dengan tawarruk sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka tidak wajib bagi sang makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan penyelisihan berupa mendahului atau keterlambatan.

Demikian juga jika ternyata sang imam tidak menggerak-gerakan jarinya sementara sang makmum meyakini sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud maka tidak wajib bagi sang makmum untuk mengikuti sang imam.

Syaikh Al-'Utsaimiin berkata, "Adapun perkara yang mengantarkan kepada penyelisihan imam maka imam harus diikuti (tidak boleh diselisihi-pent), adapun perkara yang tidak menyelisihi imam –seperti mengangkat kedua tangan tatkala hendak ruku' jika ternyata sang imam tidak mengangkat kedua tangannya sedangkan makmum memandang disyari'atkannya mengangkat kedua tangan- maka tidak mengapa bagi makmum untuk mengangkat kedua tangannya. Karena hal ini tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam atau keterlambatan (dalam mengikuti imam).

Demikian juga halnya dalam masalah duduk, jika imam tidak duduk tawarruk sedangkan sang makmum memandang disyari'atkannya duduk tawarruk atau sebaliknya maka sang makmum tidak mengikuti sang imam, karena sang makmum tidak menyelisihi sang imam dan juga tidak terlambat (dalam mengikuti sang imam). (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)


Bagaimana jika sang imam tidak duduk istirahat?

Jika sang imam tidak duduk istirahat tatkala bangkit ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat, sedangkan makmum memandang disyari'atkannya hal ini, maka apakah makmum tetap boleh duduk istirahat menyelisihi imam? Dan bagaimana jika perkaranya sebaliknya?

Syaikh Al-'Utsaimiin rahimahullah berkata, "Adapun jika (penyelisihan gerakan-pent) mengakibatkan keterlambatan makmum –misalnya makmum memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang imam tidak- maka makmum tidak duduk istirahat. Karena jika sang makmum duduk istirahat maka ia akan terlambat dari imam, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kita untuk bersegera dalam mengikuti imam, beliau bersabda, "Jika imam bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika imam ruku maka ruku'lah…". Demikian juga jika perkaranya sebaliknya. Jika imam memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang makmum tidak, maka jika imam duduk istirahat hendaknya sang makmum juga duduk meskipun sang makmum tidak memandang disyari'atkannya duduk istirahat, namun demi mengikuti imam. Inilah kaidah dalam mengikuti imam, yaitu makmum tidak melakukan hal yang menyebabkan penyelisihan atau keterlambatan" (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Telah valid bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam duduk istirahat, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi melakukannya karena beliau sudah tua sehingga butuh untuk duduk istirahat?, ataukah Nabi melakukannya karena duduk istirahat merupakan sunnah dalam sholat?. Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka menganggap duduk istirahat hukumnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka tidak menganggap mutahabnya duduk istirahat kecuali jika memerlukannya sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya-pent) karena keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini perbuatan yang merupakan perkara ijtihad? Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih utama daripada terlamabat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan yang paling kuat adalah bersegera mengikuti imam lebih utama dari pada terlambat karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A'lam (Majmuu' Al-Fataawaa 22/452-453).


Bagaimana jika sang imam qunut subuh?


Ibnu Taimiyyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ "Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti" dan juga bersabda لاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ "Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian", dan telah valid juga dalam shahih bahwasanya beliau bersabda يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ، وَعَلَيْهِمْ "Mereka (para imam) sholat bagi kalian, jika mereka benar maka pahalanya buat kalian dan buat mereka, dan jika mereka salah maka pahalanya bagi kalian dan kesalahan bagi mereka. Bukankah jika imam membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang terakhir dan memanjangkan bacaan surat tersebut maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya (menunggunya-pent)?. Adapun mendahului imam maka hal ini tidak diperbolehkan, maka jika imam qunut maka tidak boleh makmum mendahuluinya, akan tetapi harus mengikuti imam. Oleh karenanya Abdullah bin Mas'uud mengingkari Utsman karena sholat empat rakaat (tatkala safar-pent) akan tetapi beliau sholat empat rakaat diimami oleh Utsman. Maka dikatakan kepada beliau kenapa beliau berbuat demikian, maka beliau berkata الخِلاَفُ شَرٌّ Perselisihan itu buruk" (Al-Fataawa Al-Kubro 1/229)

Beliau juga berkata, "Wajib bagi makmum untuk mengikuti imam pada perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad msekipun sang makmum tidak sependapat. Sebagaimana jika imam qunut subuh atau menambah jumlah takbir tatkala sholat janazah hingga tujuh kali. Akan tetapi jika sang imam meninggalkan satu perkara yang perkara tersebut menurut makmum adalah rukun atau syarat sholat maka ada khilaf (apakah makmum tetap mengikuti imam atau tidak?-pent)" (Jaami'ul Masaail 5/388)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86)


Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 09 Dzul Qo'dah 1431 H / 17 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

HUKUM MENGKONSUMSI OBAT, MAKANAN, DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ALKOHOL?

Salah seorang anggota Kibar Ulama (Ulama Besar) di Arab Saudi, Syaikh Sa'ad bin Turki Al-Khotslaan hafzohullah berkata :

وشراب الكحول الذي يؤدي للإسكار هذا لا إشكال في أنه محرم ومن كبائر الذنوب، وهذا بإجماع المسلمين، والكثير والقليل في ذلك سواء، فقد وضع النبي - صلى الله عليه وسلم - لنا قاعدة في هذا، فقال: مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ ولكن يوجد في الوقت الحاضر كما ذكرت يوجد أغذية وأدوية تكون فيها نسبة ضئيلة من الكحول، وهذه النسبة نسبة مستهلكة، بحيث إن من أكثر من ذلك الغذاء المشتمل على هذه النسبة، أو ذلك الدواء فإنه لا يسكر فما حكم هذه الأغذية؟ وكما مثلنا بمثال الأغذية بالخميرة التي توجد في الخبز، يوجد بها نسبة ضئيلة من الكحول، المشروبات الغازية، مثل الكولا ونحوها يوجد بها نسبة ضئيلة من الكحول، كثير من أنواع الأدوية لا تخلو من ذلك.

Pertama : "Meminum minuman yang mengandung alkohol yang mengantarkan kepada mabuk maka hal ini sudah jelas akan keharamannya dan termasuk dosa besar berdasarkan ijmak/konsensus kaum muslimin. Dan meminum banyak atau sedikit dalam hal ini hukumnya sama saja. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah membuat kaidah untuk kita dalam perkara ini, beliau berkata :

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

"Apa yang banyaknya menimbulkan mabuk maka sedikitnya juga haram"


Akan tetapi di zaman sekarang ini ada makanan-makanan dan obat-obatan yang mengandung alkohol meskipun dengan kadar yang sangat sedikit. Kadar sedikit ini adalah kadar yang mustahlakah (terleburkan) dimana barang siapa yang mengonsumsi makanan atau obat-obatan tersebut –yang mengandung alkohol sedikit- maka ia tidaklah mabuk. Lantas bagaimana hukum mengonsumsi makanan tersebut?

Dan sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang makanan yang diproses dengan ragi, seperti yang terdapat pada roti, ada kandungan sedikit alkoholnya, demikian juga minuman-minuman soda, seperti kola dan yang semisalnya, ada kandungan sedikit alkohonya, dan demikian juga banyak obat-obatan yang tidak lepas dari kandungan alkohol.

هذا يقودنا إلى معرفة الحكم الشرعي في الخمر إذا استهلكت في مائع، بحيث لو أكثر الإنسان من شرب هذا المائع لم يسكر، فما حكم ذلك؟ ما حكم شرب هذا المائع الذي فيه هذه الخمر المستهلكة؟ وهذا ما يسميه بعض العلماء المعاصرين، يسمون هذا بنظرية الاستهلاك، نظرية الاستهلاك معناها: اختلاط العين لغيرها على وجه يفوت الصفات الموجودة فيها والخصائص المقصودة منها بحيث تصير كالهالكة وإن كانت باقية.

Permasalahan ini mengantarkan kita untuk mengenal hukum syar'i tentang khomer jika telah terleburkan dalam cairan, dimana jika seseorang meminum banyak cairan ini ia tidak mabuk, apa hukumnya? Apa hukumnya meminum cairan ini yang mengandung khomer yang telah terleburkan tersebut?

Ini yang dinamakan oleh sebagian ulama zaman ini dengan istilah "teori istihlaak/terlebur". Maksud dari istilah ini adalah : Tercampurnya suatu dzat dengan dzat yang lain yang menyebabkan sifat-sifat dan keistimewaan dzat tersebut hilang sehingga jadilah dzat tersebut seperti telah hilang padahal masih ada"

وهذا ينطبق على الخمر إذا استهلكت في مائع بحيث لو أكثر الإنسان من شرب هذا المائع لم يسكر، وينطبق كذلك على وقوع نجاسة قليلة في ماء كثير، بحيث لا يظهر بهذه النجاسة أي أثر من لون أو طعم أو رائحة، فهذا تتناول هذه النظرية نظرية الاستهلاك فتمتزج هنا عين خبيثة بعين طيبة، ويكون الغالب للعين الطيبة، بحيث لا يكون هناك أي أثر من لون أو طعم أو ريح، للعين الخبيثة

Permasalahan ini seperti permasalahan khomer jika telah terleburkan dalam cairan dimana jika cairan tersebut kalau diminum oleh seseorang dalam jumlah yang banyak maka tidak memabukkan. Seperti juga permasalahan terjatuhnya sedikit najis di air yang banyak, dimana tidak nampak bekas dari najis tersebut, baik warnanya, rasanya, maupun baunya. Maka hal ini mencakup teori "istihlaak", dimana tercampur dzat yang kotor/najis dengan dzat yang bersih/suci akan tetapi yang dominan adalah dzat yang bersih, sehingga tidak ada sama sekali bekas dzat yang kotor tersebut dari sisi warnanya, rasanya, maupun baunya.

وهذه النظرية مقررة في الفقه الإسلامي، ومن أحسن من تكلم عنها شيخ الإسلام ابن تيمية - رحمه الله - وقرر بأن العين الخبيثة إذا استُهلِكت فإنها لا يكون لها حكم.

قال - رحمه الله -: الصواب في هذا أن الله حرم الخبائث التي هي الدم والميتة ولحم الخنزير ونحو ذلك، فإذا وقعت هذه في الماء أو غيره واستهلكت لم يبق هناك دم ولا ميتة ولا لحم خنزير أصلا، قال: كما أن الخمر إذا استهلكت في المائع لم يكن الشارب لها شاربا للخمر، والخمرة إذا استحالت بنفسها وصارت خلا كانت طاهرة باتفاق العلماء

Teori ini telah ditetapkan dalam fikih Islam. Dan diantara yang terbaik membicarakan tentang teori ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau menetapkan bahwasanya dzat yang buruk/najis jika telah terleburkan maka dzat tersebut tidak memiliki hukum.

Beliau rahimahullah berkata : "Yang benar dalam permasalahan ini adalah bahwasanya Allah telah mengharamkan perkara-perkara yang najis seperti darah, bangkai, daging babi dan yang semisalnya. Jika perkara-perkara najis ini jatuh/tercampur dengan air atau yang lainnya, lalu terleburkan dan tidak tersisa sama sekali darah, tidak juga bangkai, dan tidak juga daging babi, sebagaimana jika khomer jika terlebur dalam cairan, maka orang yang meminum cairan tersebut tidaklah sedang meminum khomer, demikian juga jika khomer berubah dengan sendirinya menjadi cuka maka menjadi suci/bersih dengan kesepakatan para ulama"

لاحظ هنا شيخ الإسلام ابن تيمية كأنه يتكلم عن مسألة موجودة في زمننا الآن، يقول: إن الخمر إذا استهلكت في المائع لم يكن الشارب لها شاربا للخمر، يعني أنها يُعفى عنها، قال: وهذه الأدهان والألبان والأشربة، وغيرها من الطيبات، والخبيثة قد استهلكت واستحالت فيها أي فلا تحرُم، فكيف يحرم الطيب الذي أباحه الله، ومن الذي قال إنه إذا خالطه الخبيث واستهلك فيه واستحال أنه قد حرُم؟ وليس على ذلك دليل لا من كتاب ولا من سنة ولا إجماع ولا قياس. لاحظ أن شيخ الإسلام ينصر هذا القول بقوة، وهو أن العين الخبيثة إذا استحالت في شيء مباح طاهر فإن هذه العين الخبيثة لا يبقى لها أي أثر ويكون هذا مباحا، ولهذا قال: إنه ليس على القول بالتحريم دليل لا من كتاب ولا من سنة، ولا إجماع ولا قياس.

Perhatikan, disini Syaikhul Islam seakan-akan sedang membicarakan permasalahan yang ada di zaman sekarang. Ia berkata, "Jika khomer telah terleburkan dalam cairan maka peminum cairan tersebut tidak sedang meminum khomer", yaitu khomer tersebut dimaafkan. Ia berkata bahwasanya minyak-minyak ini, susu, dan minuman-minuman, demikian juga cairan-cairan yang suci lainnya jika ada benda buruk/najis yang terleburkan atau berubah dalam cairan-cairan tersebut maka cairan-cairan tersebut tidaklah menjadi haram. Bagaimana diharamkan sesuatu yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah?, siapakah yang mengatakan jika sesuatu yang baik tercampur dengan sesuatu yang haram dan telah terleburkan dan telah berubah dzatnya lantas menjadi haram?, sama sekali tidak ada dalilnya baik dari al-Qur'an, as-Sunnah, Ijmak, maupun qiyas.

Perhatikan bahwasanya Syaikhul Islam telah mendukung pendapat ini dengan kuat, yaitu bahwasanya dzat yang najis jika telah terleburkan dalam dzat lain yang halal dan suci sehingga dzat yang najis ini tidak tersisa bekasnya maka dzat lain ini tetap halal. Karenanya beliau berkata bahwasanya pendapat yang menyatakan menjadi haram sama sekali tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijmak, maupun qiyas.

ولهذا قال - صلى الله عليه وسلم - في حديث بئر بُضاعة لما ذُكر له أنه يُلقى فيها الحِيَض ولحوم الكلاب والنتن، قال: المَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ وقال في حديث القلتين: إنه إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلًَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ وفي اللفظ الآخر: "لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ" وقوله: " لم يحمل الخبث " يبين أن تنجيسه بأن يحمل الخبث، أي بأن يكون الخبث فيه محمولا، وذلك يبين أنه مع استحالة الخبث لا ينجس الماء.
انتهى كلامه - رحمه الله - منقولا من مجموع الفتاوى مجلد 21، صفحة 501 - 502

Oleh karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits sumur "budloo'ah" tatkala disebutkan kepada beliau bahwasanya ada kain-kain bekas haid, dan bangkai anjing, serta kotoran-kotoran terlemparkan ke dalam sumur ini maka beliau berkata :

المَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

"Air itu suci dan mensucikan dan tidak ternajiskan oleh sesuatupun"

Beliau juga berkata pada hadits "qullatain" :

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلًَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

"Jika air telah mencapai 2 qullah (kurang lebih 200 liter-pen) maka tidak mengandung najis"

Dalam lafal yang lain لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ "Tidak akan ternajisi oleh sesuatupun"

Dan sabda beliau, "Tidak mengandung najis" menjelaskan bahwa penajisan air adalah dengan pengandungan najis, yaitu najis terkandung dalam iar tersebut. Hal ini juga menjelaskan bahwasanya jika najis telah terleburkan (larut dan tidak tersisa bekasnya-pen) maka tidak menajiskan air.

(Demikian perkataan Ibnu Taimiyyah dari Majmuu al-Fataawa 21/501-502)

فإذًا شيخ الإسلام ابن تيمية - رحمه الله - يقرر لنا هذه النظرية وهي نظرية الاستهلاك، وبهذا التقرير يتبين أن هذه الكحول إذا كانت مستهلكة في الغذاء أو الدواء بحيث إن الإنسان لو أكثر منها لم يسكر، فإنها حينئذ لا يكون لها أثر، ويكون استخدام ذلك الغذاء والدواء مباحا ولا بأس به ولا يتحرج الإنسان منه البتة. وقد صدر في هذا قرار من مجمع الفقه الإسلامي التابع لرابطة العالم الإسلامي، بشأن الأدوية المشتملة على الكحول، وجاء في القرار: "لا يجوز استعمال الخمرة الصرفة دواء بأي حال من الأحوال لقول النبي - صلى الله عليه وسلم -: إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ ".

Dengan demikian syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan kepada kita tentang teori ini yaitu teori "istihlaak". Dan dengan pemaparan teori ini maka jelas bahwasanya jika alkohol telah larut/lebur dalam makanan atau obat, dimana jika seseorang mengonsumsi kadar yang banyak tidaklah mabuk, maka alkohol tersebut sudah tidak ada bekas/pengaruhnya, sehingga boleh dan tidak mengapa mengonsumsi makanan dan obat tersebut, dan tidak perlu seseorang merasa berat/ragu-ragu untuk mengonsumsinya.

Dan Komite Fikih Islam (Majama' al-Fiqh al-Islaami) yang menginduk kepada Roobitho al-'Aaalm al-Islaami telah menerbitkan ketetapan berkaitan dengan obat-obatan yang mengandung alkohol. Dan disebutkan dalam ketetapan tersebut : "Tidak boleh mengonsumsi khomer murni sebagai obat dalam kondisi apapun berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada perkara-perkara yang diharamkan atas kalian"

ثانيا: يجوز استعمال الأدوية المشتملة على الكحول بنسب مستهلكة، تقتضيها الصناعة الدوائية التي لا بديل عنها بشرط أن يصفها طبيب عدل، كما يجوز استعمال الكحول مطهرا خارجيا للجروح، وقاتلا للجراثيم، وفي الكريمات والدهون الخارجية، ولاحظ هنا أن استعمالها في الدواء وفي الغذاء لا بد أن يكون بنسب مستهلكة، لكن استعماله في التطهير لا يتقيد ذلك بأن يكون بنسب مستهلكة، ولذلك استعمالها في المطهرات قد يكون بنسبة ليست نسبة مستهلكة، فيجوز ذلك خاصة مع أن الراجح أنها ليست بنجسة، أن الخمر طاهرة وليست بنجسة، وحينئذ لا بأس باستعمالها مطهرا خارجيا للجروح وقاتلا للجراثيم.

Kedua : Dibolehkan mengonsumsi obat-obatan yang mengandung alkohol dengan kadar sedikit yang istihlak yang proses pembuatan obat mengharuskan demikian, yang memang tidak ada alternatif lain, dengan syarat dijelaskan sifatnya oleh dokter yang terpercaya.

Sebagaimana boleh menggunakan alkohol sebagai pemakain luar untuk pembersih luka dan untuk membunuh kuman-kuman. Demikian juga digunakannya alkohol pada krim-krim, minyak-minyak untuk pemakaian luar.

Perhatikan bahwasanya penggunaan alkohol pada obat dan makanan harus dengan kadar yang sedikit (istihlak), adapun penggunaan alkohol pada pemakaian luar maka tidak dipersyaratkan kadar sedikit (istihlak). Karenanya penggunaan alkohol sebagai pembersih luar terkadang kadar alkoholnya bukan kadar istihlak. Hal ini diperbolehkan, terlebih lagi bahwasanya pendapat yang lebih kuat bahwasanya khomer tidaklah najis, sehingga boleh digunakan untuk pemakaian luar sebagai pembersih atau untuk membunuh kuman-kuman.

سئل الشيخ محمد بن عثيمين - رحمه الله - عن هذه المسألة قال: دخول الكحول في الأدوية التي لا تشرب أو تؤكل جائز استخدامها، كما صرح ابن تيمية في جواز استخدام النجس في غير الأكل والشرب، مع أن الخمر ليست بنجسة ونجاستها على الصحيح نجاسة معنوية، قال: أما إذا كانت الأدوية تشرب وتؤكل ويؤدي كثيرها إلى الإسكار فقليلها حرام. لاحظ بهذا الشرط إذا كان كثيرها يؤدي إلى الإسكار فقليلها حرام، أما الكحول من الأدوية التي لا يمكن أن يشرب وهو في هذه الحال لا يسكر فلا يضر دخول بعض الكحول في تركيبها، وهذا جائز لأن العلة في التحريم استخدام الخمر كدواء هو في حالة وجود وصف التحريم وهو الإسكار. قال الشيخ - رحمه الله -: وإلا لحرم الخبز والخبز فيه شيء من الكحول في الخميرة.

Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah ditanya tentang permasalahan ini, maka beliau berkata : "Masuknya alkohol dalam obat-obatan yang tidak diminum atau dimakan maka boleh untuk digunakan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul islam tentang bolehnya menggunakan najis pada pemakaian yang bukan makan dan minum. Padahal khomer tidaklah najis, dan najisnya –menurut pendapat yang benar- adalah najis maknawi saja.

Adapun jika obat dimakan dan diminum dan mengonsumsi obat tersebut dengan banyak mengakibatkan mabuk maka mengonsumsi kadar sedikit dari obat tersebut juga haram.

Perhatikan syarat ini, jika mengonsumsi banyak mengakibatkan mabuk maka mengonsumsi sedikitpun haram.

Adapun alkohol dari bagian obat yang tidak menimbulkan mabuk maka tidak mengapa menjadi bagian dari susunan kadar obat. Hal ini diperbolehkan karena 'illah (sebab) pengharaman adalah penggunaan khomer sebagai obat jika dalam kondisi memiliki sifat pengharaman, yaitu bila memabukkan.

Jika tidak demikian, maka tentunya akan diharamkan roti, karena dalam roti ada kadar kecil alkohol dalam ragi.

والخلاصة، أن الكحول إذا كانت نسبتها مستهلكة، بحيث إن الإنسان لو أكثر من شرب هذا المائع الذي فيه هذه النسبة المستهلكة، فإنه لا يسكر فإن هذه النسبة من الكحول تكون مغتفرة، يعني أنه لا يترتب عليها أي حكم، ولا يترتب عليها حكم من جهة التحريم، ويجوز ذلك المطعوم أو المشروب ولا يتحرج الإنسان منه.

Kesimpulannya jika alkohol kadarnya sangat sedikit (mustahlak) dimana jika seseorang meminum banyak dari cairan yang tercampur khomer tersebut ternyata tidak mabuk maka kadar sedikit campuran alkohol tersebut dimaafkan, yaitu tidak mengakibatkan hukum apapun. Tidak mengakibatkan hukum pengharaman, dan makanan atau minuman tersebut boleh dikonsumsi, dan seseorang tidak perlu keberatan dalam mengonsumsinya.

(Sumber : http://islamselect.net/mat/60664, diterjemahkan secara bebas oleh Abu Abdil Muhsin Firanda)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 01-04-1434 H / 11 Februari 2013 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com