Home » » KHADIJAH (WAFAT 3 H)

KHADIJAH (WAFAT 3 H)




Khadijah binti Khuwaild adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam shallallahu’alaihi wa sallam, “Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan bagi Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam ., menjadi wanita pertama yang menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada fase awal jihad penyebaran agama Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah adalah wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada lima belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin mempersuntingnya. Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku Quraisy.

Wanita Suci

Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin jika semua dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus terjun langsung dalam berniaga dan bepergian membawa barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas harta dan dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan pikiran yang didukung oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerja sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang yang dapat diajak berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadilah menuju kesuksesan yang gemilang.

Pemuda yang Jujur

Khadijah memiliki seorang pegawai yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan. Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia.

Pemuda Pemegang Amanah

Kaum Quraisy tidak mengenal pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam bin Abdullah, yang sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya berdagang.
Seperti biasanya, Maisarah menyertai nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah, karena memang keduanya telah sepakat untuk bekerja sama. Perniagaan mereka ketika itu memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah kembali membawa keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan yang mereka peroleh itu berkat nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wasallam yang berniaga dengan penuh kejujuran. Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wasallam. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa mengiringi Nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wasallam yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari. Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh orang Arab sebgaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita tentang Nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wasallam itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah pun telah merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa menerangi wajah Nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wasallam. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan terhadap Nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wasallam di dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang- orang terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap Nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wasallam semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, sehingga akhirnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam diminta menikahi dirinya.
Ketika itu Khadijah berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya. Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan salah seorang pamannya, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin As’ad untuk meminang Khadijah.

Istri Pertama Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam

Allah menghendaki pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam baru menginjak dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah adalah istri Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia meninggal. Allah menganugerahi Nabi . melalui rahim Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya keturunan. Dia telah memberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam . pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam . Memperoleh perlakuan yang baik serta rumah tangga yang tenteram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan pahitnya menjadi anak yatim piatu dan miskin.

Putra-putri Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam

Khadijah melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah, Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang balk) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab banyak menyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa pertama Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam menikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi . diutus menjadi Rasul, Fathimah az-Zahra, putri bungsu beliau masih kecil.
Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, Khadijah memberikan Zaid kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam sebagai hadiah. Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. Akan tetapi di tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat kabar bahwa Zaid berada di tempat Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, sehingga dan sinilah kita dapat mengetahui sifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk mengumumkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
” … jika kamu mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)

Pada Masa Kenabian Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam

Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tentram di bawah naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam di hadapan mereka pada masa prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan diri kepada Allah yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam berusia empat puluh tahun.
Suatu ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan Ramadhan–. Beliau sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau ke dadanya, seraya berkata, “Bacalah, wahai Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam!” Ketika itu Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka ketahui.” Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam mengikuti bacaan tersebut. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. “Berilah aku selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah memberikan ketenteraman kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau tidak langsung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka.

Pribadi yang Agung

Setelah rasa takut beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti itu.
Sejak semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan meyakini ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, sehingga Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam mengatakan, “Aku rnengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku.”
Di sinilah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah. Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanmu, engkau selalu menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menolong orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu meringankan derita dan musibah orang lain.”
Setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah. Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa sebelumnya, dan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya (Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam) dan menyampaikan apa yang dikatakan oleh Waraqah.

Awal Masa Jihad di Jalan Allah

Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agama yang dibawanya sebelum diumumkan kepada rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah.
Beberapa waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam . untuk membawa wahyu kedua dari Allah:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatakan beriman pada risalah Rasulullah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wassallam dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam yang ketika itu dijuluki Zaid bin Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah.

Masa Berdakwah Terang-terangan

Setelah berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.” Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam shallallahu’alaihi wassallam memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang memenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil mendampingi Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam . Bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalab tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling keras menyakiti Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua putri Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.

Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin

Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. pun kembali menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.

K. Wafatnya Khadijah (Tahun 3H)

Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali ini merupakan akhir dan hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. dan pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. semakin sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam . sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam yang pertama, wanita pertama yang mernpercayai risalah Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa lekat dalam hati Rasulullah shallallahu’alaihi wassallam sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Sumber: buku Zaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh